Jakarta – Netflix, raksasa streaming global, tengah memainkan strategi berani: menaikkan harga langganan setiap tahun selama lima tahun ke depan. Langkah ini bukan sekadar penyesuaian tarif—ini adalah bagian dari misi besar untuk menggandakan valuasi perusahaan menjadi USD 1 triliun sebelum 2030.
Pertanyaannya: Apakah strategi ini akan berhasil? Atau justru jadi bumerang yang membuat pelanggan kabur satu per satu?
Netflix Tak Lagi Menjual Film, Tapi Eksklusivitas
Netflix paham bahwa film dan serial sudah bisa ditemukan di mana saja. Yang mereka jual kini adalah akses eksklusif ke budaya pop global. Mereka tahu betul bahwa konten seperti Stranger Things, Squid Game, dan Bridgerton bukan cuma tayangan—mereka adalah tren budaya.
Dengan begitu, Netflix bisa menaikkan harga karena mereka tak lagi bersaing hanya dalam soal konten, tapi dalam soal gengsi. Seolah berkata: “Kalau kamu mau tetap jadi bagian dari percakapan dunia, bayar lebih.”
Monetisasi Loyalitas Pelanggan
Dalam bisnis, loyalitas adalah mata uang yang paling mahal. Dan Netflix punya itu. Bahkan setelah pemblokiran akun bersama dan kenaikan harga di tahun-tahun sebelumnya, jumlah pelanggan mereka tetap naik. Maka dari itu, mereka yakin kenaikan harga tahunan masih bisa ditoleransi—asal disertai konten yang “viral-worthy”.
Tapi di sisi lain, apakah loyalitas itu abadi?
Efek Domino di Industri Streaming
Apa yang dilakukan Netflix bukan hanya berdampak pada pelanggannya, tapi juga pada para pesaingnya. Ketika Netflix menaikkan harga dan pelanggan masih bertahan, platform lain seperti Disney+, Max (HBO), Prime Video, bahkan Apple TV+ ikut merasa aman untuk mengerek harga mereka sendiri.
Hasilnya? Dunia streaming mulai kehilangan daya tarik sebagai alternatif murah dari TV kabel. Padahal, dulunya itulah daya jual utama mereka.
Kondisi ini menciptakan peluang besar bagi:
- Platform lokal murah (Vidio, Vision+, iQIYI, WeTV)
- Model langganan bergilir (subscription rotation)
- Kebangkitan situs bajakan
Ancaman Terbesar: Kenyang Streaming
Dalam ekonomi, ada konsep yang disebut subscription fatigue—kelelahan pelanggan akibat terlalu banyak layanan berlangganan. Orang mulai merasa jenuh, apalagi jika harus bayar lebih banyak hanya untuk menonton 1–2 serial favorit dalam sebulan.
Dan jangan lupakan kehadiran konten gratis berkualitas tinggi di YouTube, TikTok, hingga Twitch, yang menyajikan hiburan instan, ringan, dan terkadang lebih mengena.
Jika Netflix tak hati-hati, mereka bisa kehilangan pasar kelas menengah yang selama ini menjadi tulang punggung pendapatan mereka.
Visi Netflix: Ke Arah Mana Mereka Melangkah?
Ada kemungkinan bahwa Netflix tidak ingin semua orang ikut. Bisa jadi, mereka memang ingin menjadi HBO-nya generasi digital—eksklusif, berkualitas, dan hanya untuk yang bersedia membayar lebih. Itu tidak salah, tapi itu berarti mereka harus rela meninggalkan sebagian besar penonton yang mencari “murah dan banyak”.
Apakah ini cerdas? Ya.
Apakah ini berisiko? Sangat.
Jika pelanggan merasa tidak sebanding antara harga dan manfaat, maka rencana menuju valuasi triliunan dolar bisa tergelincir karena eksodus massal yang pelan tapi nyata.