Karena Kita Butuh Bot untuk Ngasih Tahu Kalau Kita Diselingkuhin
Ada satu fenomena menarik di zaman AI:
Manusia makin pintar…
Tapi nanyanya ke mesin, bukan ke pasangan.
Kasus ini beneran kejadian.
Seorang wanita mengaku minta ChatGPT menganalisis ampas kopi untuk tahu apakah suaminya selingkuh.
Hasilnya?
GPT bilang: “Ya, dia selingkuh. Ada perempuan lain. Inisial E.”
Wanita itu: “WELL, THAT’S ENOUGH FOR ME.”
Boom. Gugatan cerai dikirim.
Lupakan Konselor. Sekarang ChatGPT Jadi Terapis, Detektif, dan Malaikat Maut Hubungan
Bayangin ini:
- Kamu curiga pasanganmu selingkuh.
- Kamu bukan tanya langsung ke dia.
- Tapi malah ngasih gambar ampas kopi ke AI.
- AI ngarang cerita ala-ala KDrama plot twist.
- Kamu langsung percaya.
Bro, ini udah kayak ngambil keputusan hidup dari horoskop TikTok tapi dibalut gaya akademik.
AI: Artificial Intuition?
Masalahnya bukan AI-nya.
Masalahnya, kita udah capek mikir pakai logika.
Kita mau shortcut. Mau kepastian instan.
Mau suara ketiga yang netral tapi juga dramatis.
Jadilah ChatGPT semacam dukun digital, oracle zaman modern.
Bedanya, dia:
- Tidak punya konteks.
- Tidak bisa lihat ekspresi.
- Tidak bisa baca emosi.
- Tapi…
Jawabannya tetap dipercaya.
Manusia: Makhluk yang Percaya Sama Kata Bot Daripada Tatapan Pasangannya
Kalau kamu butuh chatbot buat bilang hubunganmu rusak,
mungkin hubunganmu udah rusak dari lama.
Tapi kita hidup di zaman di mana:
“Kalau aku yang bilang, dia bakal gaslighting aku. Tapi kalau GPT yang bilang? Dia gak bisa bohong dong!”
Yes.
Kita sekarang outsource kejujuran ke entitas digital yang bahkan gak tahu kamu siapa.
The Rise of Bot-Based Justice System
Hari ini: ChatGPT bilang dia selingkuh.
Besok: GPT kasih tahu kamu harus resign.
Lusa: GPT nentuin nama anakmu.
Dan kamu?
Tinggal iya-in aja. Karena manusia udah kehilangan naluri navigasi.
Kita Percaya ke AI, Bukan karena AI Lebih Pintar… Tapi Karena Kita Males Berantem
Let’s face it:
- Kita gak mau ribut.
- Gak mau debat.
- Gak mau hadapi emosi.
Jadi kita pilih AI sebagai juri yang dingin, tidak memihak, dan bisa kita salahkan kalau hasilnya gak cocok.
“Eh, bukan aku yang nuduh loh. ChatGPT yang bilang.”
Convenient AF. Tapi tragis.
Kesimpulan: GPT Boleh Pinter, Tapi Kalau Kamu Cerai Karena Chatbot, Mungkin yang Perlu Di-debug Itu Bukan Hubungannya, Tapi Otakmu
Kita lagi masuk fase di mana:
- AI makin manusia.
- Manusia makin robot.
Dan kita happy-happy aja dikendalikan prediksi kata dari server di Amerika yang bahkan gak tahu bedanya kopi Aceh dan kopi Yunani.