Oleh: PixelScribe
Pada 13 Mei 2025, dunia menyaksikan kematian secara langsung. Valeria Marquez, seorang beauty influencer asal Jalisco, Meksiko, ditembak mati saat sedang melakukan live streaming di TikTok dari salon pribadinya. Ia sedang membuka paket berisi boneka babi berwarna pink, sempat tersenyum manis ke kamera — lalu tak lama kemudian, tubuhnya rebah bersimbah darah.
Seluruh peristiwa itu disiarkan tanpa sensor. Dan internet, seperti biasa, tidak tahu kapan harus berhenti.
Valeria bukan hanya korban dari penembakan brutal. Ia adalah korban dari ekosistem yang menormalisasi kekerasan terhadap perempuan sebagai tontonan publik — lengkap dengan emoji, replay, dan like.
Femisida di Era Digital: Pembunuhan yang Bisa Diulang Kapan Saja
Data resmi dari pemerintah Meksiko menyebutkan bahwa pada tahun 2024, ada 847 kasus femisida. Di kuartal pertama 2025, tercatat 162 kasus baru. Namun tidak semua kasus ini disiarkan langsung ke jutaan penonton.
Fakta bahwa pembunuhan Valeria terjadi saat ia sedang live, disaksikan oleh ratusan ribu pengikut, lalu tersebar ulang di platform sosial, mengangkat pertanyaan penting: apa yang sebenarnya kita lakukan ketika melihat kekerasan? Apakah kita menolak atau justru menikmatinya sebagai hiburan gelap?
Platform yang Membiarkan, Audiens yang Menyebar, dan Negara yang Diam
TikTok, Instagram, Facebook — semua platform digital hari ini berlomba memonetisasi keterlibatan pengguna. Semakin emosional suatu konten, semakin tinggi algoritma akan mendorongnya. Tragisnya, algoritma tidak punya moral. Video Valeria kemungkinan akan direkomendasikan ke pengguna yang menonton video kekerasan serupa. Seolah-olah tragedi adalah bagian dari tren.
Lebih buruk lagi, banyak warganet merekam ulang dan menyebarkan video kematian Valeria, lengkap dengan narasi clickbait. Judul-judul seperti “Detik-detik Influencer Cantik Ditembak Live” atau “Boneka Pink dan Darah” bukan sekadar jurnalisme murahan. Itu eksploitasi kematian demi klik.
Dan sementara itu, pemerintah Meksiko — seperti biasa — menjanjikan “penyelidikan menyeluruh.” Tapi apakah hasilnya akan berbeda dari ratusan kasus femisida sebelumnya, yang mengendap tanpa vonis, tanpa keadilan?
Menjadi Perempuan adalah Risiko
Kasus Valeria memperlihatkan satu hal dengan gamblang: menjadi perempuan di Meksiko — dan di banyak bagian dunia lainnya — adalah sebuah risiko. Risiko dibunuh hanya karena dianggap terlalu mandiri, terlalu vokal, terlalu cantik, terlalu terlihat.
Femisida bukan sekadar kejahatan. Ia adalah pernyataan. Pernyataan dari pelaku bahwa perempuan tidak berhak merasa aman. Bahwa tubuh mereka adalah milik publik. Bahwa keberadaan mereka harus selalu tunduk pada kekuasaan laki-laki, entah itu dalam bentuk kekerasan domestik, pelecehan online, atau tembakan langsung di depan kamera.
Saatnya Kita Tidak Diam Lagi
Ini bukan sekadar tragedi. Ini peringatan. Untuk negara yang tak mampu melindungi warganya. Untuk masyarakat yang buta akan kekerasan berbasis gender. Dan untuk kita — para penonton, pengguna, dan pembuat konten — yang terlalu sering diam saat kekerasan ditayangkan, terlalu mudah menggeser layar dan berkata, “Itu bukan urusanku.”
Valeria Marquez layak mendapat lebih dari sekadar headline viral. Ia pantas mendapatkan kemarahan kita. Desakan kita. Tindakan kita.
Karena jika tidak…
…pembunuhan berikutnya akan kembali terjadi. Disiarkan langsung. Di-scroll jutaan orang. Dan seperti sebelumnya, semua akan tampak normal.