Laporan dari Masa Depan: Ketika Semesta Menutup Tirainya

Illustrasi Semesta Kiamat Menurut Ilmuwan

Tahun 20 Miliar dari Sekarang — Cahaya terakhir telah padam. Galaksi demi galaksi telah saling mendekat, lalu menyatu, kemudian menghilang ke dalam kehampaan yang terus mengecil. Ini bukan awal sebuah ledakan. Ini adalah momen akhir. Semesta telah memutuskan untuk pulang.

Inilah yang oleh para ilmuwan dulu disebut sebagai Big Crunch. Sebuah teori yang sempat jadi bahan diskusi selama ribuan tahun oleh umat manusia, kini mulai terbukti langkah demi langkah.

Riset yang berasal dari abad ke-21, tepatnya tahun 2025, sudah lebih dulu memberi peringatan. Fisikawan dari Cornell University dan Jiao Tong University merilis proyeksi bahwa alam semesta akan runtuh dalam waktu 20 miliar tahun dari usia semestanya saat itu yang baru 13,8 miliar tahun. Dan benar, kalkulasi itu tidak sepenuhnya meleset.

Dark Energy, Sang Penentu Takdir

Di balik skenario kolosal ini, ada kekuatan yang tak terlihat. Energi gelap. Pada awalnya, ia mendorong semesta mengembang. Ruang kosong terus melebar, dan galaksi bergerak menjauh satu sama lain. Tapi para peneliti menemukan petunjuk penting. Ekspansi ini punya batas. Tidak abadi. Tidak tak terbendung.

Alam semesta hanya akan tumbuh hingga ukurannya mencapai puncak sekitar 69 persen lebih besar dari kondisi saat ini. Setelah titik itu, tarikan gravitasi mulai mengambil alih. Energi gelap melemah. Kontraksi dimulai. Semua yang sempat terpisah akan saling tarik, lalu menyatu. Bintang, planet, lubang hitam, materi gelap. Semua bergerak menuju satu titik: akhir.

Skenario yang Telah Lama Tertulis

Dalam dokumen kosmologi awal abad ke-21, prediksi tentang akhir semesta sudah dibagi menjadi beberapa skenario: Big Freeze, Big Rip, dan Big Crunch. Big Freeze menggambarkan semesta membeku dalam kesepian. Big Rip adalah hancurnya semesta secara ekstrem karena ekspansi yang makin liar. Namun Big Crunch, bagi banyak fisikawan, adalah bentuk kematian yang simetris. Alam semesta lahir dari satu titik, dan akan kembali ke titik itu. Siklus semesta ditutup dengan elegan.

Bukan kehancuran brutal, melainkan lipatan waktu yang mengatup perlahan.

Bumi Sudah Lama Mati

Bahkan sebelum kontraksi semesta benar-benar dimulai, sistem bintang seperti Matahari sudah mengalami kehancurannya sendiri. Matahari berubah menjadi raksasa merah sekitar 7 miliar tahun dari waktu kita hidup sekarang. Planet-planet, termasuk Bumi, tersedot ke dalam lapisan plasma. Sisa-sisa tata surya terlempar ke ruang antar bintang yang kian sunyi.

Tabrakan besar antara Bima Sakti dan Andromeda telah lama terjadi. Galaksi hasil gabungannya menjadi salah satu struktur terakhir yang bertahan sebelum akhirnya juga menyatu ke dalam kegelapan.

Bukan Ramalan, Tapi Perhitungan

Satu hal yang perlu diingat. Big Crunch bukan mimpi buruk yang direka. Ia lahir dari perhitungan, dari simulasi berbasis data observasi dan hukum fisika. Para ilmuwan menyusun modelnya menggunakan data dari Dark Energy Survey dan berbagai teleskop spektroskopik yang mendeteksi struktur besar alam semesta.

Model itu tidak pernah pasti. Margin kesalahannya besar. Tapi dalam sejarah ilmu pengetahuan, prediksi yang berani justru sering membuka pintu ke pemahaman yang lebih dalam.

Akhir yang Sunyi, Tapi Indah

Kini, ketika semesta telah mencapai titik baliknya, hanya ada keheningan. Tidak ada cahaya. Tidak ada ruang. Tidak ada waktu yang mengalir seperti dulu. Semesta menjadi satu titik. Satu potensi. Mungkin untuk lahir kembali, mungkin untuk berhenti selamanya.

Kita, yang hidup di fase awal semesta, tidak akan pernah menyaksikan momen ini. Tapi kita pernah menatap langit dan bertanya. Dan dari pertanyaan itu, lahirlah peradaban. Lalu pengetahuan. Lalu pemahaman.

Semesta tidak hanya memberikan kehidupan. Ia memberikan makna. Dan meskipun semuanya akan berakhir, pertanyaan manusia akan tetap hidup, selama masih ada yang bertanya.

Exit mobile version