Sebuah Manifesto Cinta Orang-Orang yang Belajar Dari Awal.
Pasal 1:
Cinta tidak universal. Yang universal hanyalah harapan untuk dicintai.
Jadi kita saling mencintai… dengan asumsi yang keliru.
Kita kira dia butuh pelukan. Ternyata dia butuh ruang.
Kita pikir dia suka kejutan. Ternyata dia trauma kalau kehilangan kendali.
Maka lahirlah 8 bahasa cinta.
Bukan untuk mengotak-ngotakkan, tapi agar kita tahu:
Kamu tidak salah mencinta, kamu hanya salah menerjemahkan.
1. Words of Affirmation — Untuk yang Suaranya Pernah Diabaikan
Mereka tidak butuh kata-kata palsu. Mereka butuh ucapan sederhana:
“Aku dengar kamu.”
“Aku bangga padamu.”
“Kamu berhak bahagia.”
Karena dulu, tidak ada yang bilang begitu. Bahkan saat mereka mencapainya. Bahkan saat mereka terluka.
2. Acts of Service — Untuk yang Tak Tahu Cara Minta Tolong
Orang dengan bahasa ini… tidak akan bilang “aku butuhmu.”
Mereka akan nyapu rumahmu. Betulin laptomu. Antar kamu ke bandara jam 5 pagi.
Karena mereka hanya merasa dicintai jika mereka berguna.
Dan kadang, mereka tidak tahu cara dicintai kalau sedang lemah.
3. Receiving Gifts — Untuk yang Tahu Makna Ada di Detail
Buat mereka, satu biskuit favoritmu yang mereka titipkan di meja…
…lebih berarti dari 100 kalimat “aku cinta kamu.”
Karena cinta bukan soal besar-kecil, tapi soal “aku inget kamu walau kamu nggak minta.”
4. Quality Time — Untuk yang Selalu Ditinggal Sebelum Waktunya
Mereka tidak peduli kamu sibuk.
Mereka hanya ingin kamu hadir… sekarang. Sepenuhnya. Bahkan lima menit pun cukup.
Waktu adalah bukti kamu memilih mereka, bukan sekadar menemani.
Dan itu… lebih langka dari apapun.
5. Physical Touch — Untuk yang Tubuhnya Pernah Dijadikan Musuh
Pelukan bukan hal romantis.
Itu adalah konfirmasi eksistensial:
“Aku tidak sendirian.”
“Aku aman di sini.”
Mereka bukan butuh sentuhan.
Mereka butuh bukti bahwa tubuh mereka masih bisa menjadi rumah—bukan zona perang.
6. Shared Experiences — Untuk yang Percaya Cinta Harus Dikerjakan
Cinta itu kayak band indie.
Latihan bareng. Mangkir bareng. Bikin album bareng. Gagal bareng.
Tapi tetap main meski panggung kosong.
Mereka tidak cari hubungan.
Mereka cari tandem untuk menantang dunia.
7. Digital Affection — Untuk yang Ingin Dicintai di Ruang Virtual
“Like story aku. Comment sedikit. Mention namaku. DM random meme.”
Di luar terdengar remeh. Tapi di dalam…
Itu adalah permintaan lembut: “aku ingin ada di duniamu, walau hanya lewat notifikasi.”
8. Emotional Check-In — Untuk yang Terbiasa Memendam
Mereka bilang “nggak apa-apa.” Tapi artinya: “tolong tanya lagi.”
Mereka bilang “biasa aja.” Tapi artinya: “aku lagi sekarat, tapi nggak tahu harus bilang ke siapa.”
Mereka tidak butuh solusi. Mereka butuh seseorang yang tidak kabur saat hati mereka membuka pintunya.
Pasal 2:
Kita mencintai dengan cara kita pernah bertahan.
Words of affirmation? Bertahan karena butuh divalidasi.
Acts of service? Bertahan karena merasa dicintai saat berguna.
Shared experiences? Bertahan karena cinta tanpa proyek terasa kosong.
Love language bukan hanya preferensi. Tapi jejak trauma, ingatan, dan cara kita diajarkan—atau tidak diajarkan—untuk mencintai.
Pasal 3:
Bahasa cinta bisa bentrok. Tapi cinta sejati mau belajar grammar orang lain.
- Kamu butuh pelukan. Dia butuh ruang.
- Kamu ingin ditemani. Dia ingin dimengerti dulu.
- Kamu minta dipuji. Dia pikir itu basa-basi.
Tapi kalau kalian sama-sama belajar… cinta bisa jadi bilingual. Bahkan poliglot.
Pasal 4:
Cinta bukan soal sama-sama cocok. Tapi sama-sama mau adaptasi.
Kita tidak lahir tahu cara mencintai.
Kita belajar.
Sambil salah.
Sambil bingung.
Sambil nangis.
Sambil mencoba lagi.
Penutup:
Kalau kamu membaca ini dan bertanya,
“Kenapa cinta terasa rumit?”
Mungkin jawabannya begini:
Karena cinta itu bukan perasaan.
Ia adalah komitmen untuk terus menerjemahkan.
Walaupun kadang bahasanya asing.
Walaupun kadang hurufnya hilang.
Walaupun kadang artinya meleset.
Tapi kamu tetap baca.
Dan tetap belajar.
Dan tetap tinggal.
Itu… mungkin cinta.
