Jakarta Selatan – Sebuah kejadian memilukan mengguncang warga Perumahan Bona Indah, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan, ketika seorang remaja berusia 14 tahun, yang dikenal dengan inisial MAS, ditangkap setelah diduga membunuh ayahnya, APW, dan neneknya, RM. Kejadian ini terjadi pada malam hari dan menimbulkan kehebohan di lingkungan sekitar.
Menurut informasi dari pihak kepolisian, MAS melakukan penusukan terhadap kedua korban dengan menggunakan pisau. Akibatnya, kedua korban tidak dapat diselamatkan dan meninggal di tempat kejadian. Setelah insiden tersebut, MAS melarikan diri, namun tidak lama kemudian berhasil ditangkap oleh pihak berwajib.
Saat diinterogasi oleh polisi, MAS mengaku bahwa sebelum melakukan tindakan tersebut, ia mendengar bisikan-bisikan gaib yang membuatnya merasa tertekan. “Dia mengatakan bahwa dia tidak bisa tidur dan merasa terganggu oleh suara-suara yang terus membisikkan hal-hal yang meresahkan,” ungkap AKBP Gogo Galesung, Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan. Penjelasan ini membuat banyak pihak terkejut, mengingat bagaimana seorang remaja dapat melakukan tindakan brutal semacam itu.
Pihak kepolisian saat ini sedang menyelidiki lebih dalam untuk mencari tahu motif di balik tindakan MAS. Gogo menegaskan bahwa mereka masih dalam tahap penggalian informasi dan belum bisa memastikan apakah ada unsur dendam atau masalah lain yang mendorong MAS melakukan pembunuhan ini. “Kami akan melakukan pemeriksaan psikologis untuk memahami kondisi mental anak ini,” tambahnya.
Keluarga dan tetangga di sekitar lokasi kejadian mengungkapkan keterkejutannya. “Kami tidak pernah menyangka bahwa dia bisa berbuat seperti itu. Dia terlihat baik-baik saja sebelumnya,” kata salah satu tetangga yang enggan disebutkan namanya. Hal ini menunjukkan bahwa sering kali, masalah yang dihadapi remaja tidak terlihat dari luar.
Seorang psikolog yang dihubungi menjelaskan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan mental remaja, termasuk tekanan dari lingkungan, masalah keluarga, atau bahkan pengaruh dari media. “Remaja sering kali merasa tertekan dan tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan perasaan mereka. Jika tidak ada dukungan yang memadai, mereka bisa mengambil langkah-langkah yang merugikan,” katanya.
Kasus ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Indonesia. Sudah banyak kejadian serupa yang mengindikasikan bahwa kesehatan mental remaja perlu mendapatkan perhatian lebih. Para ahli menyarankan agar orang tua lebih aktif dalam mengamati perubahan perilaku anak-anak mereka dan menciptakan lingkungan yang aman untuk berbagi perasaan.
Tragedi ini menjadi pengingat bagi semua pihak untuk lebih peduli terhadap kesehatan mental anak-anak. Dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya dukungan emosional dan psikologis, diharapkan kita dapat mencegah insiden serupa di masa depan. Masyarakat perlu lebih terbuka dalam membahas masalah kesehatan mental dan mencari solusi untuk membantu mereka yang mengalami tekanan.
Kejadian ini juga mendorong pihak berwenang untuk melakukan pendekatan yang lebih komprehensif dalam menangani masalah kesehatan mental di kalangan remaja. Dengan melibatkan lembaga-lembaga psikologi dan menyediakan akses ke layanan kesehatan mental, diharapkan dapat membantu remaja yang mengalami kesulitan sebelum mereka mengambil langkah yang merugikan diri mereka sendiri atau orang lain.
Dengan demikian, tragedi di Cilandak menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Kesehatan mental bukanlah hal yang bisa diabaikan, dan kita semua memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi generasi muda kita.