Latar Belakang Kejadian
Peristiwa pembubaran paksa kegiatan ibadah di rumah doa milik Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah di Padang, Sumatera Barat, terjadi pada tanggal 27 Juli 2025. Insiden tersebut melibatkan tindakan kekerasan yang menyasar anak-anak yang sedang beribadah. Informasi mengenai kejadian ini mengundang perhatian masyarakat luas dan menimbulkan berbagai reaksi, terutama terkait dengan toleransi beragama.
Ketua DPD Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Sumatera Barat, Yonatan Sirait, menyatakan bahwa aksi pembubaran tersebut disaksikan langsung oleh Pendeta Dachi, selaku pimpinan rumah doa. “Beliau yang menceritakan ke saya tentang apa yang terjadi,” ungkap Yonatan dalam wawancaranya.
Kronologi Pembubaran
Awalnya, pada sore hari sekitar pukul 16.00 WIB, sekitar 20 anak sedang melaksanakan kegiatan belajar agama di rumah doa tersebut. Namun, kegiatan itu terhenti ketika Pendeta Dachi dipanggil oleh otoritas RT dan RW setempat. Dalam pertemuan tersebut, situasi tiba-tiba berubah ketika rumah doa didatangi oleh sekelompok orang tidak dikenal.
“Beberapa pemuda muncul dan membuka pagar, lalu masuk ke dalam dengan cara menendang pagar kayu,” cerita Yonatan. Kejadian ini berlangsung dengan cepat dan penuh kekacauan, tanpa adanya peringatan sebelumnya.
Tindakan Kekerasan
Setelah masuk, para pelaku mulai merusak properti rumah doa. Kayu pagar yang lepas akibat ditendang kemudian digunakan untuk memukul kaca jendela. “Tiba-tiba muncul lagi sekelompok orang lainnya yang ikut melakukan perusakan,” tutur Yonatan. Dalam situasi yang semakin tidak terkendali, pelaku mulai memukuli anak-anak yang berada di lokasi dengan kayu yang mereka ambil.
Dua anak yang sedang berjalan keluar terkena pukulan keras di bagian punggung dan leher. “Mereka mengalami cedera serius dan tidak dapat berjalan setelah dipukul,” jelas Yonatan. Selain itu, dua anak berusia 6 dan 11 tahun juga ditendang, yang mengakibatkan mereka terjatuh dan mengalami cedera.
Kerusakan yang Terjadi
Aksi kekerasan tersebut tidak hanya mengakibatkan luka fisik pada anak-anak, tetapi juga merusak fasilitas rumah doa. “Semua kaca jendela pecah, kursi dan kipas angin dirusak, dan meteran listrik juga dicabut,” kata Yonatan. Setelah merusak rumah doa, para pelaku baru meninggalkan lokasi dengan cepat.
Pendeta Dachi, yang kembali setelah mengetahui adanya aksi kekerasan tersebut, berusaha menenangkan orangtua dan anak-anak yang menjadi korban. “Dia mencoba memberikan dukungan moral kepada mereka,” ungkap Yonatan.
Upaya Pelaporan
Saat ini, Yonatan bersama perwakilan GKSI Anugerah tengah menyusun laporan untuk dilaporkan ke Polda Sumatera Barat. “Kami masih dalam proses pembuatan laporan,” ujarnya. Pelaporan ini penting untuk memastikan bahwa tindakan kekerasan yang terjadi tidak dibiarkan begitu saja.
Sementara itu, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengeluarkan kecaman keras terhadap aksi perusakan dan kekerasan di rumah doa GKSI Anugerah. “Tindakan ini sangat menyesakkan. Aksi teror disertai kekerasan dilakukan untuk menghentikan kegiatan pelayanan kerohanian di depan anak-anak, dan tentunya akan menimbulkan trauma berkepanjangan dalam pertumbuhan mereka,” ujar Ketua Umum PGI, Pendeta Jacky Manuputty.
Tanggapan Masyarakat
Berita mengenai perusakan ini segera menyebar, memicu reaksi dari berbagai kalangan. Banyak yang mengutuk tindakan tersebut sebagai bentuk intoleransi beragama. “Kami sangat prihatin dengan kejadian ini. Kekerasan terhadap anak-anak tidak bisa dibenarkan dalam konteks apa pun,” kata seorang aktivis hak asasi manusia.
Di media sosial, banyak pengguna yang menyampaikan dukungan untuk korban dan mengecam pelaku. “Kita harus berdiri bersama melawan segala bentuk kekerasan, terutama yang menyasar anak-anak,” tulis seorang pengguna Twitter.
Implikasi Hukum
Pelaku perusakan rumah doa kini menjadi perhatian aparat kepolisian. “Kami akan menindaklanjuti laporan yang masuk dan melakukan penyelidikan,” ujar seorang petugas kepolisian. Penegakan hukum dalam kasus ini diharapkan dapat memberikan efek jera, sehingga kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Pihak kepolisian juga mengingatkan masyarakat untuk tidak mengambil tindakan sendiri. “Kita harus menyerahkan masalah ini kepada pihak berwenang agar dapat ditangani dengan semestinya,” tambahnya.
Perlunya Edukasi Toleransi
Peristiwa ini menunjukkan pentingnya edukasi mengenai toleransi beragama di masyarakat. “Kita perlu menyebarluaskan nilai-nilai toleransi agar perbedaan tidak menjadi sumber konflik,” kata seorang pengamat sosial. Edukasi semacam ini bisa dilakukan melalui berbagai media, termasuk seminar, diskusi, dan program-program sekolah.
Masyarakat diharapkan dapat belajar untuk saling menghormati dan menerima perbedaan dalam beragama. “Setiap orang berhak untuk menjalankan keyakinannya tanpa rasa takut akan kekerasan,” tegasnya.
Harapan untuk Masa Depan
Kejadian ini adalah pengingat akan pentingnya menjaga keamanan dan kenyamanan dalam beribadah. “Kami berharap kejadian seperti ini tidak terulang kembali. Semua orang berhak untuk beribadah dengan aman,” kata Pendeta Dachi.
Dengan dukungan masyarakat luas dan penegakan hukum yang tegas, diharapkan situasi ini dapat membaik. “Kita harus bersatu melawan segala bentuk kekerasan dan intoleransi,” pungkas Yonatan.
Kesimpulan
Perusakan rumah doa di Padang menunjukkan betapa pentingnya toleransi dan saling menghormati dalam masyarakat yang beragam. Setiap tindakan kekerasan harus dikecam, terutama yang menyasar anak-anak. Dengan adanya laporan dan dukungan dari berbagai pihak, diharapkan kasus ini dapat ditangani dengan serius dan memberikan pelajaran berharga bagi semua.
Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman dan harmonis, di mana setiap orang dapat beribadah tanpa rasa takut. Mari bersama-sama menjaga perdamaian dan toleransi di negeri ini.



















