Dunia sedang mengalami lonjakan kepercayaan terhadap kecerdasan buatan. AI digunakan untuk menulis laporan, membuat konten, menganalisis data, bahkan memberikan nasihat kehidupan. Di tengah gelombang ini, satu suara terdengar janggal. Suara itu berasal dari orang yang paling tahu isi perut AI, Sam Altman, bos OpenAI dan otak di balik ChatGPT.
Alih-alih membanggakan ciptaannya sebagai alat yang selalu bisa diandalkan, Altman justru heran. Ia berkata bahwa orang-orang terlalu percaya pada ChatGPT. Padahal menurutnya, AI bisa dan seringkali berhalusinasi. Sebuah pengakuan jujur yang semestinya membuat pengguna merenung lebih dalam.
AI Bukan Guru, Bukan Juru Selamat, dan Bukan Kebenaran Mutlak
Teknologi AI tidak dibangun untuk memberi kebenaran, melainkan untuk memberi respons. Model seperti ChatGPT bekerja dengan meramalkan kata atau kalimat berikutnya berdasarkan jutaan contoh teks. Ini membuatnya terdengar pintar dan meyakinkan. Tapi isi dari jawabannya tidak selalu benar.
Saat AI tidak menemukan jawaban pasti, ia tetap akan merespons. Ia bisa menciptakan data fiktif, menyusun kutipan palsu, atau mendefinisikan istilah yang sebenarnya tidak pernah ada. Yang paling mencemaskan, semua itu disajikan dalam bahasa yang rapi, seolah ia tahu apa yang sedang dibicarakan.
Inilah mengapa Sam Altman mengangkat alis. Bukan karena teknologinya gagal, tetapi karena publik terlalu cepat menganggap AI sebagai alat yang infalibel.
Riset MIT: Bukan Cuma Menyesatkan, AI Bisa Bikin Otak Malas
Dalam studi berjudul Your Brain on ChatGPT, para peneliti MIT Media Lab menemukan bahwa pengguna yang mengandalkan AI untuk menulis mengalami penurunan kemampuan kognitif. Mereka menunjukkan penurunan pada konektivitas pita alfa, bagian otak yang berperan dalam bahasa dan memori.
Pengguna yang menulis dengan bantuan AI memang tampak lebih cepat dan efisien. Tapi ketika mereka diminta menulis ulang tanpa bantuan, performanya menurun drastis. Sementara kelompok yang sejak awal menulis tanpa bantuan menunjukkan kestabilan. Artinya, AI tidak hanya berdampak pada isi tulisan, tapi juga pada kerja otak.
Kenapa Kita Butuh AI, Tapi Tidak Boleh Tunduk Padanya
Kita hidup di zaman yang menuntut efisiensi. Wajar jika banyak orang beralih ke AI. Tapi ketika teknologi mulai menggantikan proses berpikir, maka yang hilang bukan sekadar waktu, tapi kapasitas intelektual manusia itu sendiri.
Sam Altman mungkin menciptakan salah satu AI paling berpengaruh di dunia. Tapi ia juga yang paling sadar bahwa AI tidak seharusnya dianggap sebagai jawaban akhir dari segalanya. AI adalah alat bantu, bukan penentu keputusan. Ia adalah alat eksplorasi, bukan pengganti akal sehat.
Yang Membuat Kita Manusia Adalah Kemampuan untuk Meragukan
Percaya pada teknologi itu wajar. Tapi terlalu percaya adalah jebakan. Karena teknologi, secerdas apapun, tetap bisa salah. Dan ketika kesalahan itu tidak disadari, dampaknya bisa jauh lebih besar dari sekadar informasi keliru.
Kritik Altman adalah pengingat agar kita tetap memegang kendali atas cara berpikir kita sendiri. Jangan biarkan kebiasaan mencari jawaban instan merampas kebebasan intelektual. Karena sesungguhnya, kekuatan manusia tidak terletak pada seberapa cepat ia menemukan jawaban, tapi seberapa jauh ia bisa memahami pertanyaan.
