Kasus pelecehan seksual yang melibatkan Briptu Sanjaya dari Polda Sulsel mendapat perhatian publik setelah Jaksa Penuntut Umum menuntutnya dengan hukuman penjara selama 10 tahun. Perkara ini mencuat ketika seorang tahanan wanita mengungkapkan pengalaman traumatis yang dialaminya.
Dalam sidang, Jaksa mengungkapkan bahwa Sanjaya memaksa tahanan tersebut untuk melakukan praktik seksual yang tidak senonoh di dalam area Polda. Tindakan ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga etika kepolisian yang seharusnya menjaga dan melindungi warga negara.
Sebagai tambahan terhadap hukuman penjara, Sanjaya juga diharuskan membayar denda Rp 100 juta. Apabila ia gagal membayar uang ganti rugi sebesar Rp 25 juta, ia akan menghadapi hukuman tambahan. Kejadian ini sangat mengkhawatirkan, dan banyak pihak yang meminta reformasi di dalam kepolisian.
Kasus ini juga menarik perhatian organisasi hak asasi manusia, yang meminta agar institusi kepolisian lebih transparan dalam menangani dugaan kasus pelecehan seksual. Publik berharap, kasus ini bisa menjadi tonggak penting dalam pencegahan kekerasan seksual di masa depan.
Dalam konteks ini, kekuatan hukum dan transparansi harus ditegakkan demi keadilan bagi para korban.